Kamis, 25 September 2008

Yang perlu diketahui Reporter


Wartawan yang mencari berita di lapangan, reporter, adalah ujung tombak media. Di tangan reporterlah, sesungguhnya, bagus-tidaknya sebuah berita ditentukan; bukan oleh redaktur.

Harap anda jangan menelan bulat-bulat apa yang ditulis ini. Apalagi aku cuma wartawan yang belajar jurnalisme secara otodidak; jadi sangat mungkin apa yang kuungkapkan di sini berbeda dengan “ilmu jurnalisme yang resmi” seperti terdapat pada diktat kuliah.

Inilah poin-poin penting yang menurutku seharusnya dipahami seorang reporter dalam menjalankan tugasnya.

1) Jangan pernah berbohong.

Ini yang paling utama menurutku. Nasib koran sesungguhnya berada di ujung pena reporter; baru kemudian redaktur. Ibaratnya: reporter adalah pemain bola yang bisa mencetak gol ke gawang lawan atau juga bikin gol bunuh diri, sementara redaktur adalah wasit.

Meskipun pers juga adalah lembaga bisnis — selain lembaga demokrasi — tidak berarti wartawannya legal melakukan trade-out [memberitakan iklan], apalagi sampai memutar-balikkan fakta. Pagar api [tanda yang memisahkan/ membedakan berita dan iklan] harus menjadi kesepakatan ruang redaksi dan perusahaan media.

Jujur dan mendengarkan hati nurani adalah jauh lebih utama daripada sekadar menguasai teknik jurnalistik. Fakta adalah suci. Jika anda terbiasa memerkosa fakta, segeralah beralih profesi.

2) Tentukan angle berita sejak masih meliput di lapangan.

Banyak wartawan berpikir bahwa sudut pandang berita baru perlu saat hendak menulis. Ini keliru.

Tahun-tahun pertama jadi wartawan, aku sering bergumam di depan mesin ketik: “Angle begini lebih menarik, tapi kok aku kekurangan bahan ya ….” Maka ketika dalam melakukan reportase atau wawancara anda menemukan hal yang lebih menarik daripada angle awal, galilah kembali mulai dari situ. Bukan dosa bila anda lari dari angle yang ditugaskan redaksi. Disiplin jurnalisme berbeda dengan militerisme.

3) Dalam wawancara jangan menjebak narasumber dengan “meminjam mulut”.

Kecuali anda menulis untuk “koran kuning”. Biasakan memakai pertanyaan terbuka, sehingga jawaban bisa lebih beragam dan luas. Pertanyaan tertutup — yang hanya butuh jawaban ya atau tidak — baru efektif dipakai dalam liputan investigasi [saat data akurat sudah di tangan dan kita hanya ingin “menangkap tersangka”].

4) Patuhi etika. Hargai off the record.

Ada kalanya anda sedang bergunjing di kedai kopi dan sumber-sumber melontarkan pernyataan menarik. Suatu hari anda mengingat obrolan itu lalu mengutipnya ke dalam berita. Anda bisa digugat. Seharusnya anda menghubungi kembali narasumber dan meminta izin bagian-bagian mana dari ucapannya yang akan anda kutip. Jika dia tidak bersedia, anda pun harus berhenti menulis.

5) Catatlah suasana saat melakukan reportase dan wawancara. Hal-hal sepele membuat tulisan lebih manusiawi.

Contohnya dalam sebuah berita seremonial, yaitu penyerahan kendaraan dinas kepala desa, tulis: Bupati sempat menghidupkan dan mengecek speedometer ke-15 sepedamotor itu satu per satu. “Saya cek dulu, benar nggak ini baru. Oh …, iya, benar,” ujarnya.

6) Arsipkan semua klipping berita dan bahan mentah berita anda. Selalu jelaskan ulang latar belakang sebuah masalah jika anda menulis berita lanjutannya. Redaktur dan pembaca tidak akan ingat apa yang anda tulis sepekan lalu.

7) Jangan hanya mengandalkan bahan siaran pers. Jangan hanya mendengar jika bisa menyaksikan langsung.

Seorang wartawan pemula di Amerika Serikat ditugaskan meliput kotbah Minggu malam. Karena pada jam bersamaan terlanjur ada janji kencan dengan pacarnya, dia meminta naskah kotbah sang pendeta. Dia pun merasa tak perlu lagi hadir di gereja untuk meliput. Berita diketik dan diserahkan kepada redaktur Senin pagi.

“Berita yang bagus. Lead-nya juga menarik. Tapi …, bagaimana dengan kebakaran …,” kata Redaktur Kota, datar dan lembut.

“Kebakaran?”

“Gereja itu hangus terbakar sebelum kebaktian dimulai,” ujar Redaktur, kali ini tidak lagi lembut. “Dan tidak ada khotbah!”

Tidak ada komentar: